Saat itu adalah hari pertama
Ujian Nasional (UN) dan mata pelajaran yang diujiankan, Matematika. Semua
peserta ujian masuk keruang ujian masing-masing mempersiapkan alat tulis. Tidak
berapa lama kemudian, dua orang pengawas memasuki ruangan kelas saya. Tapi,
peserta ujian diruangan kelas terkejut karena satu dari dua pengawas tersebut
masuk sambil marah-marah.
“Guru kalian itu ga bisa diajak kerja sama” Kata seorang
pengawas tadi.
Suasana kelas yang masih terkejut
tetap terdiam
“Siswa saya, yang dia awasi ujiannnya,
dicatat namanya karena menyontek. Kita sama ngerti sajalah, standar nilai
sekarang itu naik, semuanyakan juga mau lulus. Kok malah diketatin??!
Awas ya, kalian jangan macam-macam. Yang ketahuan nyaontek langsung saya catat
namanya!!”
Setelah itu, para peserta
mengerjakan soal ujian dengan suasana yang sangat tegang dari awal hingga
akhir. Termasuk saya yang ada diruangan tersebut. Bagaimana tidak, mental
peserta yang tidak tahu apa-apa tiba-tiba dimarahi langsung down dengan sikap pengawas tersebut.
Itu adalah pengalaman pribadi
saya saat mengikuti Ujian Nasional SMA tahun 2008.
Para pengawasan ujian adalah
guru-guru dari sekolah lain yang mata pelajarannya tidak diujiankan. Dan ya, saya
harus jujur, saat mengikuti ujian pada mata pelajaran lainpun, memang sangat
terasa bahwa banyak pengawas yang melonggarkan pengawasannya. Seolah-olah telah
ada ‘persetujuan dibelakang layar’ antar pengawas ujian kalau mereka akan
melonggarkan pengawasan ujian. Alhasil, peserta cukup leluasa melakukakan aksi
menconteknya. Hanya ada teguran-teguran sederhana kepada siswa yang
‘kelakuannya’ terlalu mencolok.
Lalu apakah goal dari sebuah ujian hanya lulus dan angka yang tertera diatas
kertas semata? Dalam pandangan saya, saat ini banyak dari kita lebih
mementingkan nilai dari pada pemahaman dari suatu materi pembelajaran. Apa bila
seorang murid mendapatkan nilai tinggi maka dia pintar, lalu bila seorang murid
lainnya mendapatkan nilai rendah maka dia bodoh/pemalas. Bukan berarti nilai
tidak penting, tapi proses pembelajaran, daya juang seorang murid untuk mencapai
tingkat mengerti materi pelajaran jauh lebih penting. Bukan hanya sekedar nilai
diatas kertas. Siapa yang tahu nilai tersebut didapatkan dengan cara yang benar
atau tidak. Apa gunanya nilai tinggi, namun sebenarnya murid tidak paham materi
yang dipelajarinya. Hasilnya akan berdampak pada tidak adanya aplikasi nyata
dari apa yang telah dipelajarinya, dan akan mempengaruhi tingkat percaya
dirinya untuk melakukan sesuatu.
Hal ini juga memperbesar jarak
antar siswa yang pinta akan semakin pintar, sedangkan siswa yang pemalas akan
semakin malas karena merasa santai akibat diberi ruang untuk aktifitas mencontek.
Lalu bagaimana mungkin murid
dapat mencapai tingkat mengerti dari materi pelajaran, sedangkan guru sebagai
pengajar dan pendidik juga mendukung pencapaian nilai diatas kertas saja.
Berdasarkan pengalaman saya, hanya sebagian kecil guru yang benar-benar
mementingkan siswa mengerti akan materi pelajaran dari pada nilai diatas
kertas.
Perlu dilakukan perubahan mind set secara global, bahwa bukan
nilai tujuan atas pembelajaran, tapi bagaimana mencapai tingkat mengerti atas
materi yang dipelajari. Hal ini bisa terwujud dengan dukungan kurikulum
pembelajaran, pola didik dan mengajar yang diberikan para guru, dan kemauan
siswa untuk benar-benar mau mengerti materi pelajaran.
Sistem ujian open book/open note saya pikir juga efektif untuk mengurangi
aktifitas mencontek saat ujian berlangsung. Sekaligus membangun rasa percaya
diri siswa akan jawabannya sendiri. Selanjutnya, bagaimana guru merancang soal
untuk metoda open book/open note.